Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PEKANBARU
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
25/Pid.Pra/2023/PN Pbr LIONG TJAI alias HARRIS ANGGARA Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq Kepolisian Daerah Riau Cq Direktur Reserse Kriminal Khusus Polisi Daerah Riau Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 03 Nov. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 25/Pid.Pra/2023/PN Pbr
Tanggal Surat Jumat, 03 Nov. 2023
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1LIONG TJAI alias HARRIS ANGGARA
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq Kepolisian Daerah Riau Cq Direktur Reserse Kriminal Khusus Polisi Daerah Riau
2Kepala Jaksa Agung Republik Indonesia Cq. Kejaksaan Tinggi Riau Cq. Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Riau
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
Dengan ini memohon pemeriksaan Sidang Praperadilan atas tindakan penetapan status tersangka yang dialami oleh Pemohon Praperadilan. Maka dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap:
 
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq Kepolisian Daerah Riau Cq Direktur Reserse Kriminal Khusus Polisi Daerah Riau yang berkedudukan di Jl. Pattimura No.13, Cinta Raja, Kecamatan Sail, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau - 28127.  yang selanjutnya disebut sebagai--------------------------------------------------------------TERMOHON I PRAPERADILAN.
Kepala Jaksa Agung Republik Indonesia Cq. Kejaksaan Tinggi Riau Cq. Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Riau yang berkedudukan di Jl. Jendral Sudirman No. 375 , Kec. Pekanbaru Kota, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, yang selanjutnya disebut sebagai------------------------------------------------------------------------TERMOHON II PRAPERADILAN.
 
Adapun pertimbangan permohonan Sidang Praperadilan ini diajukan adalah sebagai berikut:
A. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tampat mingadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;
2. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan : 
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang;
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan."
3. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah :
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. 
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”;
4. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut "terobosan hukum" (legal-breakthrough) atau hukum yang pro-rakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan yang berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini;
5. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan (yurisprudensi) yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara sebagai berikut yaitu; 
a. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011; 
b. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
c. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid. Prap/2012/Pn.Jkt. Sel tanggal 27 november 2012;
d. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid. Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
e. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015; 
f. Dan lain sebagainya.
6. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut pada intinya menyatakan;
a. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan; 
b. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekustan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan.
7. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
Bahwa berdasarkan Pertimbangan hukum tersebut diatas, maka Permohonan Praperadilan terkait Penetapan Tersangka, sangat beralasan hokum untuk diterima dan Pengadilan Negeri Pekanbaru berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara a quo.
 
B. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
 
1. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA OLEH TERMOHON ADALAH KELIRU DAN TIDAK TEPAT.
a. Bahwa adapun kronologi dugaan Tindak Pidana Korupsi pada kegiatan Pengadaan dan pemasangan pipa transmisi PE 100 DN 500 mm di Kota Tembilahan dengan menggunakan APBD Provinsi Riau TA. 2013 adalah sebagai berikut :
1) Bahwa Proyek milik Bidang Cipta Karya Dinas PU Provinsi Riau Tahun 2013 yaitu kegiatan Pengadaan dan pemasangan pipa transmisi PDAM PE 100 DN 500 mm di Kota Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir dengan dana sebesar Rp. 3.415.618.000. (Tiga Milyar Empat Ratus Lima Belas Juta Enam Ratus Delapan Belas Ribu Rupiah) sesuai kontrak Pekerjaan tersebut dimulai 20 Juni 2013 sampai dengan 16 November 2013;
2) Bahwa adapun selaku Kuasa Pengguna Anggaran proyek pipa tersebut adalah Muhammad yang saat itu menjabat Kabid Cipta Karya Dinas PU Riau, Sabar Stavanus P Simalonga selaku Direktur PT. Panatori Raja yang merupakan pihak rekanan, dan Edi Mufti BE selaku PPK, dan Ir SF Hariyanto MT, mantan Kadis PU Provinsi Riau;
3) Bahwa untuk proyek tersebut PT. Panotari Raja meminta bantuan dan dukungan kepada Pemohon agar proyek tersebut dapat berjalan lancar, dan sebagai syarat administrasi Pemohon membuat surat Dukungan dan Jaminan Kualitas, Surat Pernyataan Dukungan Tenaga Teknis, Surat Dukungan Harga, Daftar Harga Pipa, Surat Penyataan Dukungan Peralatan, Surat Keterangan Spesifikasi, Surat Pernyataan Dukungan Teknis;
4) Bahwa terhadap pekerjaan itu telah dilakukan Audit oleh BPKP serta dilakukan pengetesan/ uji coba oleh PDAM Riau yang telah dituangkan dalam serah terima penyelesaian pekerjaan 100%. (vide Pasal 95 PP-PBJP No. 54/2010);
5) Bahwa menurut dugaan pekerjaan itu tidak sesuai dengan isi kontrak pekerjaan sehingga menimbulkan kerugian Negara;
b. Bahwa hubungan Pemohon dengan PT. Panotari Raja adalah sebatas Produsen pipa dengan Konsumen pipa dimana Pemohon hanya menjual pipa dagangannya kepada PT. Panolari Raja Pemohon tidak ada menandatangani apapun dengan Pemerintahan Provinsi Riau;
c. Bahwa merujuk pada hubungan Pemohon dengan PT. Panotari Raja dalam hal pertanggungjawaban pekerjaan apabila tidak sesuai dengan kontrak pekerjaan maka beban pertanggungjawaban pekerjaan itu tidak ada pada Pemohon karena Pemohon tidak ikut didalam kontrak pekerjaan;
d. Bahwa Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola (Pasal 1 angka 22 PP-PBJP). Sedangkan Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi (Pasal 1 angka 5 UUJK);
e. Bahwa Kontrak kerja konstruksi pada dasarnya dibuat secara terpisah sesuai tahapan dalam pekerjaan konstuksi yang terdiri dari kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan pelaksanaan, dan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan pengawasan (Pasal 20 ayat 1 PP-PJK).
f. Bahwa adapun Para Pihak pada Jasa Konstruksi:
1) Perencana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain (Pasal 1 angka 9 UUJK);
2) Pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain (Pasal 1 angka 10 UUJK);
3) Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan Jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal Pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserah terimakan (Pasal 1 angka 11 UUJK). 
g. Bahwa adapun Para Pihak Dalam Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan PP-PBJP Pasal 7 ayat 1;
(1) Organisasi Pengadaan Barang/Jasa untuk Pengadaan melalui Penyedia Barang/Jasa terdiri atas:
a) PA/KPA (Pengguna Anggaran Kuasa Pengguna Anggaran, (Pasal 1 angka 6 PP-PBJP)
b) PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), (Pasal 1 angka 7PP-PBJP).
c) ULP/Pejabat Pengadaan, dan
d) PPHP (Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan) (Pasal 1 angka 7PP-PBJP).
h. Bahwa dengan demikian merujuk pada Perpres No. 54/2010 beserta Perubahannya tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Aturan Turunannya (PP-PBJP) Jo Perka LKPP No. 14/2012 tentang Petunjuk Teknis Perpres No. 70/2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (JUKNIS):
1) Pada prinsipnya hasil Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan tanggung Jawab mutlak 'Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan Penyedianya', sedang PPK dapat dibantu oleh 'Tim Pendukung' antara lain: Direksi Lapangan, Konsultan Pengawas, Direksi Teknis, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK):
2) Selanjutnya Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) menunjuk Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) untuk melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan yang telah diselesaikan;
3) Sedangkan (Pabrikan/Distributor/Supplier/Leverancier) memberikan 'Surat Dukungan hanya sebatas 'Persyaratan Administratif semata" (Bukan Mengikat) dalam proses lelang/tender 'bukan merupakan keharusan (bersifat fakultatif);
4) Sedangkan 'Ketepatan: Biaya, MUTU, Waktu bukan merupakan tanggung Jawab 'yang memberikan dukungan' karena barangnya bisa saja dibell dari 'yang bukan memberikan dukungan;
5) Yang diwajibkan menandatangani 'Pakta Integritas' adalah PPK, Penyedia, dan PPHP' tidak termasuk Pemberi Dukungan;
 
Berdasarkan ulasan mengenai pertanggungjawaban pidana apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar karena tidak ada keterkaitannya, maka Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru Cq. Majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum sehingga tidak mencederai nilai keadilan bagi Pemohon dan hak-hak hukum yang melekat pada Pemohon.
 
2. TINDAKAN TERMOHON I PREMATUR MENETAPKAN PEMOHON
    SEBAGAI TERSANGKA
a. Bahwa tindakan Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah Prematur sangat terburu-buru sekali menggingat para pihak yang berkaitan langsung dengan proyek pekerjaan yaitu selaku Kuasa Pengguna Anggaran proyek pipa tersebut adalah Muhammad yang saat itu menjabat Kabid Cipta Karya Dinas PU Riau, Sabar Stavanus P Simalonga selaku Direktur PT. Panatori Raja yang merupakan pihak rekanan, dan Edi Mufu BE selaku PPK, dan ir SF Hariyanto MT. mantan Kadis PU Provinsi Riau, serta Pengawas pelaksanaa proyek status perkara mereka sebelumnya pernah masih P 19 dikarenakan Termohon harus melengkapi lagi alat bukti baik secara formil maupun materiil serta terhadap perkara a quo sudah pernah dilakukan praperadilan dengan perkara nomor: 23/Pid.Pra/2018/PN. Pbr yang telah di putus pada tanggal 05 November 2018 dengan membatalkan penetapan tersangka bagi pemohon akan tetapi Termohon Kembali membuka perkara a quo sesuai dengan Pemberitahuan dimulainya penyidikan nomor: SPDP/74/VII/RES.3.3.5/2023/Reskrimsus tanggal 02 Agustus 2023 dan terhadap berkas perkara  a quo telah dilimpah (P-21) oleh Termohon I kepada Termohon II; 
b. Bahwa Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK:
Unsur Objektif:
1) Setiap orang.
2) Secara melawan hukum:
3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi:
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Unsur subjektif:
Asas kesalahan berupa unsur "kesengajaan"
3) Bahwa Putusan MK Nomor perkara 25/PUU-XIV/2016 terkait Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memutuskan bahwa kata "dapat" yang tertuang dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor dihapuskan. Hal ini berarti delik pada pasal 2 dan 3 UU Tipikor, adalah delik materil, yang mensyaratkan harus terpenuhinya dan dibuktikan adanya kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi.
4) Bahwa Penghitungan kerugian keuangan negara kerap menjadi polemik dalam sidang perkara korupsi. Permasalahan yang kerap muncul lembaga mana yang sebenarnya paling berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara. Menjawab polemik ini, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) No.4 Tahun 2016. SEMA tersebut mengatur tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
5) Bahwa Salah satu poinnya rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang men-declare kerugian keuangan negara Selengkapnya berbunyi:
SEMA No. 4 Tahun 2016
Rumusan Hukum Kamar Pidana
Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara. Namun, tidak berwenang menyatakan atau man-declare adanya kerugian keuangan negara.
6) Bahwa berkaitan tentang kedudukan Pemohon sebagai Produsen dalam menjual pipa produksinya dikaitkan dengan peraturan-peraturan hukum diatas maka jelaslah tindakan Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah premature dikarenakan belum adanya berkas para pihak-pihak yang melakukan berkaitan langsung dengan kontrak pekerjaan tersebut yang telah dinyatakan terbukti bersalah dengan alat-alat bukti yang juga dijadikan Termohon sebagai bukti dalam penetapan Pemohon sebagai Tersangka.
Bahwa oleh karena itu patut dan berdasar hukum jika penetapan Pemohon sebagai tersangka oleh Termohon adalah dinyatakan premature sehingga tidak sah secara hukum, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
 
3. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON 
    SEBAGAI TERSANGKA
1) Bahwa Termohon I dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi pada kegiatan Pengadaan dan pemasangan pipa transmisi PE 100 DN 500 mm di Kota Tembilahan dengan menggunakan APBD Provinsi Riau TA 2013. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP oleh Polri Daerah Riau Direktorat Reserse Kriminal Khusus kepada Pemohon, hal ini sesuai dengan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon I kepada Pemohon dengan Nomor: S.Pgl/398/VII/RES.3.3.5/2020/Reskrimsus, tertanggal 07 Juli 2020.
2) Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan, Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
3) Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup". Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
4) Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak ada kaitan langsung dengan kegiatan Pengadaan dan pemasangan pipa transmisi PE 100 DN 500 mm di Kota Tembilahan karena Pemohon bukanlah pemenang tender atas proyek tersebut melainkan PT. Panotari Raja, Pemohon hanya Produsen yang menjual pipa yang dibutuhkan oleh PT. Panotari Raja. Pemohon tidak pernah dan tidak ada menandatangani apapun dengan Pemprov Riau, Pemohon hanya menerima pembayaran sesuai dengan harga yang disepakati pada PT. Panotari Raja. Hubungan Pemohon dengan PT. Panotari Raja murni adalah hubungan produsen yang menjual barang dagangannya dengan konsumen yang membeli dagangan Pemohon. Sehingga tidak ada satu pun bukti permulaan yang cukup untuk itu yang dapat membuktikan bahwa Pemohon adalah pelaku langsung ataupun pihak yang turut melakukan tindak pidana sebagaimana yang dipersangkakan kepada Pemohon.
5) Bahwa dikaitkan dengan pengembalian berkas perkara oleh Kejaksaan Tinggi Riau terhadap Tersangka Sabar Stavanus P Simalonga, Direktur PT Panatori Raja selaku rekanan (pemenang tender proyek), dan Edi Mufti BE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dimana menurut masih terdapat kekurangan salah satunya alat bukti yang harus dilengkapi baik secara formil maupun materiil. Sehingga Termohon I harus melengkapi kelengkapan formil dan materil berkas perkara. Sehingga tidaklah tepat Pemohon langsung ditetapkan sebagai Tersangka mengingat berkas para pihak yang paling bertanggungjawab atas proyek tersebut belum ada yang P-21 apalagi mempunyai kekuatan hukum tetap.
6) Bahwa menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101) menyatakan bahwa sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan "bukti permulaan" atau "bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian "tindak pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
7) Yahya Harahap (ibid 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penetapan tersangka, perangkapan, atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon
8) Bahwa berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa "Bukti Permulaan", Frasa "Bukti Permulaan Yang Cukup" dan "Bukti Yang Cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai "minimal dua alat bukti" sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
9) Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alar bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi pada kegiatan Pengadaan dan pemasangan pipa transmisi PE 100 DN 500 mm di Kota Tembilahan dengan menggunakan APBD Provinsi Riau TA. 2013, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP oleh Polri Daerah Riau Direktorat Reserse Kriminal Khusus kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, Termohon selalu mendasarkan pada alat bukti yang sebelumnya telah dinyatakan belum lengkap oleh Kejaksaan Tinggi Riau.
10) Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atau hukum.
 
4.PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN 
       TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN 
       DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
1) Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, Negara pun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi "Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
2) Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati:
3) Oomar Sono Adji menentukan prinsip 'legality merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh 'Rule of Law - konsep, maupun oleh faham 'Rechtstaat dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip 'legality'.
4) Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa "pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain". Menurut Sjachran Basah "abus de droit (tindakan sewenang-wenang), yaitu pertiuatan pejabat yang tidak secual dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
5) Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang- Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
- ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
- dibuat sesuai prosedur; dan
- substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
6) Bahwa terdapat kejanggalan terhadap surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan berulang kali, yang dalam dalam hal ini dapat membuktikan perbuatan Kesewenang-wenangan yang dilakukan Termohon I, dan menjadi ketidak kejalasan atas surat Perintah Penyidikan mana yang dijadikan dasar sebagai Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana diuraikan sebagai berikut :
a. Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sprin.Sidik/31/VIII/RES.3.3.5/2018/Reskrimsus, tanggal 02 Agustus 2018;
b. Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sprin.Sidik/16/VII/RES.3.3.5/2019/Reskrimsus, tanggal 01 Juli 2019.
c. Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sprin.Sidik/32/X/RES.3.3.5/2019/Reskrimsus, tanggal 24 Oktober 2019;
d. Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/10/II/RES.3.3.5/2020/Reskrimsus, tanggal 05 Februari 2020;
e. Surat Perintah Dimulainya Penyidikan Nomor :SPDP/33.A/VII/RES.3.3.5/2020/Reskrimsus, tanggal 7 Juli 2020;
f. Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP. Sidik/84/VIII/RES.3.3.5/2023/Reskrimsus, tanggal 2 Agustus 2023;
7) Bahwa Pemohon tidak pernah menerima Surat Penetapan sebagai Tersangka sebagaimana Surat Ketetapan Nomor : S.Tap/33.a/VII/RES.3.3.5/2020/Reskrimsus tanggal 7 Juli 2020 tentang Penetapan Tersangka, bahwa Perbuatan Termohon telah melakukan kesewenang-wenangan menetapkan Status Pemohon tanpa dasar yang jelas (abuse of power) dengan cara tidak memberikan Surat Penetapan Tersangka, SP2HP, Mengeluarkan surat perintah Penyidikan hingga kurang lebih 6 (enam) kali sehingga tidak membuat kejelasan pada Surat Perintah Penyidikan mana penetapan Tersangka tersebut, dan Tidak melihat unsur Keperdataan sebelumnya serta memaksakan Perkara Pidana yang pada faktanya merupakan peristiwa Perdata, dan mengabaikan Putusan Prapid No. 23/Pid.Pra/2018/PN Pbr yang pada intinya telah memutuskan Tindakan Termohon I menetapkan Tersangka pada Pemohon tidak sah dan tidak berdasarkan atas hokum dan oleh karenanya penetapan tersangka tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, dan menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon I yang berkenaan dengan penetapan Tersangka atas diri Pemhon oleh Termohon I, namun pihak Termohon tidak melaksanakan hal tersebut dan membuat surat Penyidikan baru hingga berulang-ulang;
8) Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan a quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:
• "Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah".
• Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.
 
Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon I kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
 
5. PERBUATAN PEMOHON MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM 
     KEPERDATAAN
1) Bahwa sebelumnya telah diuraikan dengan jelas bahwa Pemohon adalah Produsen Pipa yang menjual barang dagangannya tersebut kepada para konsumen yang membutuhkan, termasuk kepada PT. Panotari Raja yang merupakan salah satu konsumen Pemohon Untuk itu hubungan hukum antara kedua belah pihak merupakan hubungan hukum yang bersifat keperdataan.
2) Bahwa Pemohon memberikan dan mengantarkan barang sesuai dengan harga dan pesanan dari pihak PT. Panotari Raja dan barang yang diantar tersebut telah diterima dengan baik sesuai dengan bon pengantaran barang dari Pemohon dan bahkan telah dipasang oleh PT Panotari Raja untuk proyek tersebut.
3) Bahwa masalah PT. Panotari Raja ada melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kontrak kerja dengan Pihak Pemprov Riau itu bukanlah ranah Pemohon. Sehingga dalam hal ini Pemohon tidak ada melakukan tindakan melawan hukum bermaksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dalam penggunaan dana Pemerintah.
4) Bahwa berdasar pada kenyataan yang terjadi pada Pemohon, antara pemohon dengan pelapor diikat hubungan jual beli barang antara produsen dengan konsumennya, tidak ada maksud melakukan penipuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, sehinga dengan demikian tidak tepat apabila Pemohon disangka melakukan dugaan tindak pidana sebagaimana yang telah diuraikan diatas, karena hubungan hukumnya merupakan hubungan hukum keperdataan.
Bahwa sebagaimana diuraikan peristiwa diatas murni merupakan peristiwa hukum keperdataan, sehingga menggugurkan keyakinan Termohon I dan Termohon II atas penetapan Tersangka Pemohon Praperadilan.
 
C PETITUM
Berdasarkan pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut:
1. Menyatakan menerima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tindakan Termohon I menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Tindak Pidana Korupsi pada kegiatan Pengadaan dan pemasangan pipa transmisi PE 100 DN 500 mm di Kota Tembilahan dengan menggunakan APBD Provinsi Riau TA. 2013, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP oleh Polri Daerah Riau Direktorat Reserse Kriminal Khusus sesuai dengan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Surat Penetapan Nomor S.Tap/33.a/VII/RES.3.3.5/2020/Reskrimsus, tertanggal 07 Juli 2020 dan pelimpahan berkas (P-21) ke Kejaksaan Tinggi Riau/Termohon II adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon:
4. Memerintahkan kepada Termohon I untuk menghentikan penyidikan terhadap penyidikan Pemohon:
5. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
6. Menghukum Termohon I dan Termohon II untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Atau:
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru Cq Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
 
Demikianlah disampaikan permohonan ini dan Pemohon sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru Cq Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili perkara a quo  dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran, kepastian hukum dan rasa kemanusiaan.
Pihak Dipublikasikan Ya