Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PEKANBARU
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
13/Pid.Pra/2023/PN Pbr HENDRI ARDI Als H EDI KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESAI cq KEPALA KEPOLISIAN DAERAH RIAU cq KEPALA KEPOLISIAN RESORT KOTA PEKANBARU cq KEPALA SATUAN RESERSE POLRESTA PEKANBARU Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 15 Mei 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 13/Pid.Pra/2023/PN Pbr
Tanggal Surat Kamis, 11 Mei 2023
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1HENDRI ARDI Als H EDI
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESAI cq KEPALA KEPOLISIAN DAERAH RIAU cq KEPALA KEPOLISIAN RESORT KOTA PEKANBARU cq KEPALA SATUAN RESERSE POLRESTA PEKANBARU
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

1.    Pemohon Tidak Pernah Diperiksa Sebagai Calon Tersangka
Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya    dua    alat    bukti    sesuai    Pasal        184    KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),” Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum    seseorang        ditetapkan        sebagai    tersangka    telah    dapat    memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang- wenang oleh Penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup.

2.    Tidak Pernah Ada Pemanggilan Sebagai Tersangka Atas Diri Pemohon
Bahwa Pemohon Tidak Pernah mendapat Surat Panggilan oleh Termohon sebagai Tersangka. Bahwa surat panggilan tersangka diatur dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil Tersangka dan Saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Dalam penjelasan Pasal 112 ayat   (1) KUHAP dijelaskan bahwa surat panggilan yang sah adalah surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pemanggilan seorang Tersangka atau saksi Harus memenuhi kedua syarat di atas yaitu:
•    Dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas. Dalam praktiknya, “alasan pemanggilan yang jelas” berarti surat panggilan disertai dengan uraian singkat mengenai perkara beserta pasal-pasal yang disangkakan; dan
•    Dipanggil dengan surat panggilan yang sah (ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang), dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya surat dan hari waktu pemeriksaan.
3.    Termohon Tidak Melaksanakan Ketentuan Perkap No.6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana dan Tidak Cukup Bukti Dalam Menetapkan Pemohon Sebagai Tersangka
Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 14 KUHAP disebutkan bahwa “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.
-    Bahwa Pemohon tidak menerima langsung SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dari Termohon sebagaimana diatur Pasal 1 angka 16 Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
-    Bahwa karena perkara a quo masih dalam tingkat penyidikan maka keterangan Tersangka/ Pemohon belum sebagai alat bukti, karena keterangan Terdakwa baru ada pada saat pemeriksaan Pengadilan. Sedangkan ada tidaknya bukti petunjuk merupakan wewenang Hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 188 KUHAP. Oleh karenanya pengertian “minimal dua alat bukti” sebagaimana dimaksud di atas adalah 2 (dua): 1. Keterangan Pelapor atas nama JISRA ARIF, 2. Keterangan Pemohon, “keterangam Pemohon didapatkan sejak surat panggilan untuk dimintai keterangan pada hari Jum’at tanggal 28 April 2023 untuk datang menghadap Penyidik Unit ldik V JATANRAS Sat Reserse Polresta Pekanbaru pada hari Selasa, 02 Mei 2023 sekira pukul 10:00 wib untuk dimintai keterangan sebagai Saksi dalam perkara diduga tindak pidana “Penipuan atau Penggelapan”, sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan Pasal 378 atau Pasal 372 KUHP, namun baru dapat dipenuhi oleh Pemohon berdasarkan persetujuan dari Penyidik, pada hari Kamis, tanggal 4 Mei 2023 pukul 10:00 wib, Pemohon hadir, yang pada awalnya tanpa didampingi Kuasa Hukum sudah di wajibkan foto menggunakan kaos/baju orange dan diminta untuk menandatangani  surat  penetapan nomor: STP.Sts/16/V/RES.1.11/2023/Reskim sebagai Tersangka, Pemohon baru mendapatkan Pendampingan dari Kuasa Hukum sekira jam 14:00 wib, selanjutnya sekira jam 17:00 wib Penyidik menerbitkan Surat Perintah Penahanan Nomor: Sp. Han/92/V/RES.1.11/2023 /Reskim tanggal 4 Mei 2023 sebagai dasar Penahanan Pemohon.
-    Bahwa berdasarkan kronologi tersebut di atas, maka Pemohon tidak mendapatkan hak-hak dan atau diberi kesempatan oleh Termohon sebagaimana diatur dalam KUHAP dan atau Pasal 12 Perkap Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka dan dilanjutkan dengan penahanan oleh Termohon merupakan tindakan sewenang-wenang dan melanggar hak asasi Pemohon, untuk itu Pemohon memohon keadilan melalui mekanisme prapedailan untuk menghentikan penyidikan terhadap perkara a quo dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Termohon melalui putusan praperadilan.
4.    Tidak Dikabulkan Permohonan Penangguhan Penahanan
Bahwa Pemohon melalui Penasihat Hukum/Kuasa Hukum telah mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepaada Kapolresta Pekanbaru cq. Kasat Reskrim Polresta Pekanbaru untuk Penangguhan Penahanan/atau pengalihan penahanan terhadap Pemohon/ Terlapor tertanggal 04 Mei 2023 dengan menimbang dan memperhatikan ketentuan Pasal 31 ayat 1 KUHAP untuk mengalihkan penahanannya menjadi penahanan kota dengan melaksanakan wajib lapor dan tidak keluar kota dan sebagaimana di atur dalam Pasal 12 Perkap No.6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, namun permohonan tersebut tidak dikabulkan oleh Termohon.
5.    Perbuatan Pemohon Murni Merupakan Hubungan Hukum Keperdataan
Bahwa peminjaman uang sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sekitar bulan Agustus 2021 dan Rp 11.000.000,- (sebelas juta rupiah) bulan Desember 2021 oleh Pemohon atas persetujuan Pelapor berdasarkan perjanjian dan atau kesepakatan Para Pihak secara lisan (tidak tertulis) yang akan dikembalikan Pemohon dengan kelebihan/dilebihkan dari nilai pinjaman, setelah pencairan proyek di Sekeladi Sekapas Kecamatan Rantau Koper Kabupaten Rokan Hilir.
Bahwa Pemohon telah melakukan pembayaran kepada Pelapor, sebagai berikut:
a.    Bulan Januari 2022 menyerahkan uang sebesar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) kepada Pelapor (tanpa kwitansi).
b.    Membayar mobil rental untuk dimanfaatkan dan atau digunakan oleh Pelapor dengan biaya per bulan Rp 6.500.000,- (enam juta lima ratus ribu rupiah), sbb:
•    Desember 2021 s/d Oktober 2022, total biaya sebesar Rp 71.500.000,- (tujuh puluh satu juta lima ratus ribu rupiah rupiah).
•    Nopember 2022 s/d April 2023, total biaya sebesar Rp 39.000.000,- (tiga puluh sembilan juta rupiah).
c.    Bulan Oktober 2021 s/d Maret 2022, transfer ke rekening bank Mandiri No: 1080018248501 atas nama DINDA ISMAYA (istri Pelapor) total Rp 22.300.000,- (dua puluh dua juta tiga ratus ribu rupiah).
Berdasarkan rincian di atas, Pemohon telah mengeluarkan uang untuk dipergunakan dan atau dimanfaatkan oleh Pelapor, total sebesar Rp 157.800.000,- (seratus lima puluh tuju juta delapan ratus ribu rupiah). Untuk itu hubungan hukum antara Pemohon dengan Pelapor (Para Pihak) merupakan hubungan hukum yang bersifat keperdataan.
-    Bahwa terdapat perbedaan antara Wanprestasi dan Penipuan. Wanprestasi dapat berupa: (i) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan;
(ii) melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (iii) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (iv) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang
melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata- nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga. Wanprestasi ini merupakan ranah hukum perdata. Sedangkan penipuan masuk ke dalam bidang hukum pidana (delik pidana) (pasal 378 KUHP). Seseorang dikatakan melakukan penipuan apabila ia dengan melawan hak bermaksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain. “Melawan hak” di sini bisa dicontohkan memakai nama palsu, perkataan-perkataan bohong, dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, dst.
-    Bahwa faktanya penyerahan uang sebesar Rp.100,000,000,- oleh pelapor kepada pemohon/ terlapor adalah merupakan pinjaman uang yang disepakati berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam secara lisan, antara Pemohon dengan Pelapor diikat melalui perjanjian yang sama-sama beritikat baik untuk memenuhi perjanjian, tidak ada maksud melakukan penipuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, sehinga dengan demikian tidak tepat apabila Pemohon disangka melakukan Penipuan atau Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena hubungan hukumnya merupakan hubungan hukum keperdataan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan Pemohon dapat kenakan Pasal-Pasal dalam dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana seperti halnya dilakukan Termohon kepada Pemohon.
6.    Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka dan Penahanan Merupakan Tindakan Kesewenang-wenangan dan Bertentangan Dengan Asas Kepastian Hukum
1)    Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak asasi manusia (HAM) sehingga asas hukum presumption of innosence atau asas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
2)    Bahwa sudah lazim bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak
yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
3)    Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’.
4)    Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
5)    Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi:
•    ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
•    dibuat sesuai prosedur; dan
•    substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
6)    Sehingga sebagaimana dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan a quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:
“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”. Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat
(1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.
7)    Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka dan Penahanan yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

C.    PETITUM
Berdasarkan pada argumen dan fakta-fakta yuridis di atas, Pemohon mohon kepada Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut:
1.    Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya.,
2.    Menyatakan (Surat Penetapan Tersangka Nomor : Sp.Sidik/03/I/2023/Reskrim tanggal 4 mei 2023) adalah tidak sah/ tidak berdasarkan hukum, oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum;
3.    Menyatakan Tidak Sah segala Keputusan dan atau Penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon berkenaan dengan Penetapan Tersangka dan Penahanan atas diri Pemohon oleh Termohon;
4.    Menyatakan surat perintah penahanan nomor: Sp. Han/92/V/RES.1.11/2023/ Reskrim tanggal 4 mei 2023, tidak sah dan tidak berdasarkan hukum;
5.    Memerintahkan kepada Termohon untuk membebaskan dan atau melepaskan pemohon dari tahanan Rutan Polresta Pekanbaru dengan segera;
6.    Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara a quo;
7.    Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat dan martabatnya;
8.    Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Pemohon sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa, mengadili dan memutus Permohonan a quo berpendapat lain, mohom putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Pihak Dipublikasikan Ya