Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PEKANBARU
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
14/Pid.Pra/2023/PN Pbr 1.Dr Muhammad Nurul Huda SH MH
2.Heri Kurnia SE
1.Pemerintah Pemerintah Negara Republik Indonesia Cq. Kepala KepolisianDaerah Riau
2.PEMERINTAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA cq KEPALA KEJAKSAAN TINGI RIAU
3.Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 17 Mei 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penghentian penyidikan
Nomor Perkara 14/Pid.Pra/2023/PN Pbr
Tanggal Surat Rabu, 17 Mei 2023
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Dr Muhammad Nurul Huda SH MH
2Heri Kurnia SE
Termohon
NoNama
1Pemerintah Pemerintah Negara Republik Indonesia Cq. Kepala KepolisianDaerah Riau
2PEMERINTAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA cq KEPALA KEJAKSAAN TINGI RIAU
3Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

TENTANG HAK DAN KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON
1.    Bahwa berdasarkan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, Praperadilan terhadap tidak sahnya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan dapat diajukan oleh Penyidik/Penuntut dan Pihak Ketiga Berkepentingan.

2.    Bahwa siapa yang dimaksud dengan frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada perkara Nomor: 98/PUU-X/2012 yang diucapkan tanggal 21 Mei 2013 menyatakan:
1.1.     Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
1.2.     Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
Bahwa didalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang yang dikatakan organisasi masyarakat itu ada dua bentuk, ormas yang berbadan hukum dan yang tidak berbadan hukum. Ormas yang berbentuk badan hukum menurut Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -Undang Nomor 2 Tahun 2ot7 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang Yaitu Perkumpulan dan yayasan.
Bahwa Forum Masyarakat Bersih Riau (FORMASI RIAU) adalah sebuah badan hukum yang berbentuk Perkumpulan yang terdaftar di Kantor Notaris Ragil Ibnu Hajar, S.H., M.Kn Nomor : 02, Tanggal 19 Juni 2019 dan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-0007029.AH.01.07 Tahun 2019
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas, maka Pemohon memiliki kualifikasi secara hukum untuk bertindak sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan Permohonan Praperadilan a quo.

DALIL PENGHENTIAN PENYELIDIKAN ATAU PENYIDIKAN SECARA MATERIEL DAN DIAM-DIAM
1.    Bahwa pengusutan “Dugaan Sppd Fiktif Masal Dewan Rohil” telah berlangsung sejak 26 september 2018, akan tetapi hingga bulan Mei 2023, proses hukumnya masih dalam tahap penyidikan dan belum ada yang ditetapkan menjadi tersangka;

2.    Bahwa, sebelumnya Perkumpulan Forum Masyarakat Bersih Riau pernah mengajukan Praperadilan Jilid I pada tahun 2021, Jilid II pada tahun 2021 dan Jilid III pada April tahun 2022 dimana semua Praperadilan terkait “Belum Dituntaskannya Pengusutan Dugaan Korupsi Sppd Fiktif Masal Dewan Kabupaten Rokan Hilir 2017” tersebut ditolak semua oleh Hakim Praperadilan

3.    Bahwa, berdasar Pasal 25 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penanganan perkara korupsi harus didahulukan dan diutamakan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya, sedangkan Termohon I (satu) telah melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Perkara Korupsi, maka berlaku ketentuan ini. Ketentuan ini menunjukkan bahwa penanganan perkara tindak pidana korupsi seharusnya mendapatkan perhatian lebih dibandingkan penanganan perkara tindak pidana lain;

4.    Bahwa berlarut-larutnya penanganan suatu perkara dugaan korupsi telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga harus dilakukan upaya hukum pemaknaan secara diperluas sebagai bentuk penghentian penyidikan secara semu (materil). Dalam Putusan Praperadilan di Pengadilan Negeri Boyolali dalam Perkara Nomor 01/Pra/2012/PN.Bi mengartikan bahwa penghentikan penyidikan secara semua adalah tidak adanya perkembangan penyidikan.

5.    Bahwa memasuki lima tahun pengusutan dugaan korupsi “sppd fiktif masal dewan rohil” belum ada perkembangan penyidikan yang substantif yaitu dengan adanya SP3 atau penetapan tersangka.


DALIL TIDAK SAHNYA PENGHENTIAN PENYIDIKAN SECARA MATERIIL DUGAAN KORUPSI MASAL SPPD FIKTIF DEWAN KABUPATEN ROKAN HILIR 2017
Untuk memudahkan masyarakat umum mengingat perjalanan dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017 Pemohon menamainya dengan “DUGAAN KORUPSI MASAL SPPD FIKTIF ANGGOTA DEWAN KABUPATEN ROKAN HILIR 2017”
1.    Bahwa Termohon I telah melakukan pengusutan/proses hukum dugaan korupsi “Dugaan Korupsi Masal Sppd Fiktif Anggota Dewan Kabupaten Rokan Hilir 2017” sejak 26 September 2018 yang diduga ada potensi kerugian keuangan sebesar Rp. 9.023.592.147,27

2.    Bahwa Termohon I juga telah melakukan pemeriksaan sebanyak 94 saksi dalam proses pengusutan/proses hukum “Dugaan Korupsi Masal Sppd Fiktif Anggota Dewan Kabupaten Rokan Hilir 2017”

3.    Bahwa pengusutan/proses hukum “Dugaan Korupsi Masal Sppd Fiktif Anggota Dewan Kabupaten Rokan Hilir 2017” telah ke tingkatkan pengusutannya ke tingkat penyidikan pada tahun 2021 dengan Nomor SP.Sidik/53/RES.3.3/2021/Reskrimsus, tanggal 27 Mei 2021, dan terakhir pada hari Kamis tanggal 10 November 2022 Bidang Humas Polda Riau memberikan informasi melalui media bahwa masih penyidikan masih berjalan, dan penyidik masih menunggu hasil penghitungan kerugian Negara.


4.    Bahwa setelah 3 (tiga) tahun penyidikan, Termohon I belum ada memberikan kepastian hukum yakni apakah pengusutan “Dugaan Korupsi Masal Sppd Fiktif Anggota Dewan Kabupaten Rokan Hilir 2017” telah dihentikan atau masih tetap lanjut setelah informasi terakhir diberikan sejak tanggal 10 November 2022. Artinya 7 (bulan) sejak 10 November 2022 hingga permohonan ini didaftar ke pengadilan, belum ada perkembangan yang didapat oleh Pemohon dan masyarakat umumapakah kasus tetap lanjut atau dihentikan atau telah ada penetapan tersangka

5.    Bahwa berdasarkan informasi dari pengumpulan dokumen diduga telah terjadi dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dari instansi lainnya Tahun anggaran 2017 yang berindikasi adanya kerugian negara sebesar Rp. 9.023.592.147,27

6.    Bahwa Termohon I telah melakukan pengusutan “Dugaan Korupsi Masal Sppd Fiktif Anggota Dewan Kabupaten Rokan Hilir 2017” dan telah memeriksa 94 orang saksi serta meminta audit kepada BPK yang sampai saat ini audit perhitungan kerugian riil (nyata) belum dipublikan ke public, sehingga public bertanya-tanya adakah kerugian keuangan Negara yang sebenarnya

7.    Bahwa Termohon I tidak cukup serius mengusut “Dugaan Korupsi Masal Sppd Fiktif Anggota Dewan Kabupaten Rokan Hilir 2017” padahal sudah banyak anggota dewan mengambilakan uang dugaan korupsi. Jika berbicara tentang dugaan korupsi, maka berdasarkan Pasal 4 UU Korupsi, “pengembalian kerugian keuangan Negara tidak menghapus sifat melawan hukum korupsinya”. Mengapa oknum anggota dewan yang mengembalikan uang korupsi tidak dijadikan sebagai tersangka?


8.    Bahwa Termohon III tidak cukup serius dan berkeinginan untuk menuntaskan kasus “Dugaan Korupsi Masal Sppd Fiktif Anggota Dewan Kabupaten Rokan Hilir 2017” karena sudah berjalan lima tahun (pada bulan September 2023 genap 5 tahun) pengusutan di Termohon I, tetapi Termohon III juga belum juga mengambil-alih pengusutan “Dugaan Korupsi Masal Sppd Fiktif Anggota Dewan Kabupaten Rokan Hilir 2017” dari Termohon I

9.    Bahwa Termohon III menyadari, bahwa Provinsi Riau termasuk 10 provinsi terkorup di Indonesia, sehingga apabila kasus “Dugaan Korupsi Masal Sppd Fiktif Anggota Dewan Kabupaten Rokan Hilir 2017” tidak dituntaskan akan menambah buruk citra Termohon III dan Provinsi Riau di mata rakyat Indonesia

10.    Bahwa Termohon III mestinya menyadari bahwa ada hambatan besar di Termohon I bahwa apabila dalam penyelidikan seseorang telah mengembalikan kerugian keuangan Negara, maka perkara tidak perlu dilanjutkan kembali. Sebagaimana yang tertuang dalam Surat Telegram Kabareskrim Nomor: ST/206/VII/2016 tanggal 25 Juli 2016 yang menyebutkan “jika dalam proses penyelidikan ada pengembalian kerugian keuangan negara ke kas negara agar penyelidikan tidak ditingkatkan penyidikan”, hal ini bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatakan bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.
Pasal 2 ayat 1     
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).


11.    Berdasarkan alasan pada point 10 diatas, maka tidak ada alasan bagi Termohon III untuk mengambil-alih perkara ini, karena berdasarkan Pasal 10A angka 1 Uundang-Undang Nomor 19 tahun 2019 Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan bahwa “Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.” Kemudian dalam Pasal Pasal 10A angka 2 huruf b Uundang-Undang Nomor 19 tahun 2019 Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan bahwa “pengambil-alihan perkara bias dilakukan apabila proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian. Bahwa penanganan perkara yang dilakukan oleh Termohon I sudah berjalan lima tahun, tapi hingga gugatan prapid jilid ini didaftarkan belum ada yang menjadi tersangka. Padahal sudah banyak anggota DPRD Rohil 2014-2019 yang mengembalikan kerugian keuangan Negara/daerah.

12.    Bahwa Termohon III tidak cukup serius agar meminta Termohon I untuk membuka ke publik siapa-siapa saja anggota DPRD Rohil 2014-2019 yang telah mengembalikan uang ke Pemkab Rokan Hilir, agar warga rokan hilir riau dan umumnya rakyat Indonesia bahwa ada anggota anggota DPRD Rohil 2014-2019 yang mengembalikan kerugian keuangan Negara/daerah.

13.    Bahwa Termohon II, Pemohon anggap kurang serius karena tidak mendesak Termohon I untuk segera menuntaskan pengusutan “Dugaan Korupsi Masal Sppd Fiktif Anggota Dewan Kabupaten Rokan Hilir 2017”.

14.    Bahwa Para Termohon dalam menangani perkara dugaan korupsi aquo tidak menjalankan amanah rakyat dengan sebaik mungkin agar korupsi segera diusut dan dituntaskan;

15.    Bahwa dalam penanganan perkara korupsi aquo yang berlarut-larut, maka PARA TERMOHON melanggar :
a.    Pasal 9 ayat (3) International Convenant on Civil and political Right (ICCPR) tahun 1966 yang menyatakan bahwa pemeriksaan harus dilaksanakan sesegera mungkin;
b.    Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberatantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan bahwa “penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”.
c.    Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diamandemen dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengharuskan tentang pelaksanan penegakan hukum itu untuk memedomani asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta tidak berbelit-belit. Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum yang berbelit-belit dan merupakan pelanggaran terhadap HAM;
16.    Bahwa Termohon III tidak dengan cukup sungguh-sungguh menjalankan Peraturan Presiden Nomor 102 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 1 angka 5 dan Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 102 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

11.    Bahwa tujuan Praperadilan adalah sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 80 KUHAP berbunyi: “Pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.” Bukan bermaksud menggurui, jika terjadi ketidakpastian hukum dan ketidak-adilan dengan berlarut-larutnya penanganan perkara korupsi a quo, maka atas dasar kewenangannya maka Hakim dalam memberikan putusan Praperadilan tidak semata-mata atas formalitas dan kepastian hukum, tetapi Hakim harus memutus Praperadilan aquo demi tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran dengan mengabulkan seluruh Petitum Permohonan Praperadilan dalam perkara aquo;

12.    Bahwa oleh karena berlarut-larutnya Penyidikan perkara a quo, maka selanjutnya PARA TERMOHON diperintahkan untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, PEMOHON memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru atau hakim yang memeriksa perkara ini, berkenan memeriksa dan memutus;
P R I M A I R :
1.    Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan ini untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan Pengadilan Negeri Pekanbaru berwenang memeriksa dan memutus permohonan aquo;
3.    Menyatakan Pemohon sah dan berdasar hukum sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan praperadilan atas perkara a quo;
4.    Menyatakan secara hukum Para Termohon telah melakukan tindakan PENGHENTIAN PENYIDIKAN secara materiel dan diam – diam yang tidak sah menurut hukum, berupa tindakan tidak melanjutkan proses perkara aquo sesuai tahapan KUHAP, UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, dan UU No. 30 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK, dan UU Nomor 16 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 11 tahun 2021 tentang Kejaksaan, Peraturan Presiden Nomor 102 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap perkara dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017;
5.    Menyatakan Termohon III tidak menjalankan tugasnya mengawasi kinerja Termohon I secara maksimal berdasarkan Pasal 6, 7, 8 Peraturan Presiden Nomor 102 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menyatakan Termohon II tidak menjalankan amanah rakyat untuk mendesak termohon I agar segera mengirimkan berkas perkara;
6.    Memerintahkan kepada Termohon I untuk menetapkan tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017
7.    Memerintahkan Termohon I agar menyerahkan pengusutan dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017 kepada Termohon III
8.    Memerintahkan TERMOHON III melakukan proses hukum selanjutnya dan melakukan pengambilalihan perkara aquo dari Termohon I;

 


S U B S I D A I R:
Memeriksa dan mengadili Permohonan Pemeriksaan Pra Peradilan ini dengan seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (Ex aequo et bono).

 

Pihak Dipublikasikan Ya