Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PEKANBARU
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
15/Pid.Pra/2023/PN Pbr ESRON SIPAYUNG KEPALA DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PROVINSI RIAU Cq KEPALA SATUAN POLISI KEHUTANAN PADA DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PROVINSI RIAU Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 06 Jun. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penyitaan
Nomor Perkara 15/Pid.Pra/2023/PN Pbr
Tanggal Surat Senin, 05 Jun. 2023
Nomor Surat 037-I/a-3/VI/2023
Pemohon
NoNama
1ESRON SIPAYUNG
Termohon
NoNama
1KEPALA DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PROVINSI RIAU Cq KEPALA SATUAN POLISI KEHUTANAN PADA DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PROVINSI RIAU
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

A.    DASAR HUKUM DIAJUKAN PERMOHONAN PRAPERADILAN INI
1.    Bahwa Praperadilan merupakan suatu upaya hukum terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh Negara yang melanggar Peraturan Perundang-undangan, serta merampas hak asasi manusia itu sendiri, Praperadilan merupakan suatu mekanisme untuk mengontrol kemungkinan terjadinya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penyidik atau oleh penuntut umum dalam melakukan tugasnya pada proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan suatu perkara pidana, hal ini bertujuan agar pelaksanaan proses penyidikan dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip  due process of law yang adil dan konsisten serta dengan tetap memperhatikan hak-hak tersangka maupun terdakwa sebagi manusia yang memiliki kesamaan hak dihadapan hukum (Protect of  human Right);
2.    Bahwa Menurut Andi Hamzah, Praperadilan adalah tempat pengaduan pelanggaran HAM, sehingga praperadilan adalah suatu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum, selanjutnya agar hukum ditegakkan dan melindungi hak asasi tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan Penyidikan dan penuntutan.;
3.    Bahwa Praperadilan juga berfungsi sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak Tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan, sehingga berdasarkan hal-hal itulah penyidik atau penuntut umum dapat melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, pengeledahan, penyitaan, penahanan dan penuntutan agar lebih mengedepankan azas  dan prinsip kehati - hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;
4.    Bahwa selanjutnya menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum” selanjutnya Pasal 28D UUD 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ketentuan kedua pasal UUD ini bermakna bahwa adalah merupakan hak asasi manusia untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan hukum melalui proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat;
5.    Bahwa menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011, halaman 30 menyatakan, “...filosofi diadakannya pranata Praperadilan yang justru menjamin hak-hak Tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia”. Dengan demikian, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi ini pada hakekatnya Praperadilan itu adalah untuk menjamin hak Tersangka, dari kesewenang- wenangan yang mungkin dan dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum, sejak dilakukan penyelidikan sampai ditetapkan sebagai Tersangka;
6.    Bahwa pengajuan Permohonan Praperadilan oleh PEMOHON berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP. Lembaga Praperadilan sebagai sarana untuk melakukan kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum seperti Penyelidik, dan/atau Penyidik termasuk dalam penetapan Tersangka. Pengawasan horizontal terhadap kegiatan penyelidikaan, penyidikan sangat penting karena sejak seseorang ditetapkan sebagai Tersangka, maka aparat penegak hukum dapat mengurangi dan membatasi hak asasi seorang manusia. Sebagai upaya hukum untuk mencegah agar aparat penegak hukum tidak melakukan kesewenang-wenangan dalam melaksanakan kewenangannya maka diperlukan lembaga yang dapat melakukan pengawasan horizontal terhadap aparat penegak hukum. Oleh karena itu pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum termasuk dalam penetapan Tersangka dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain diluar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Untuk mengukur wewenang tersebut digunakan menurut ketentuan undang-undang dapat dilihat dari tujuan Penyelidikan berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP yaitu untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan dan tujuan Penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP yaitu untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya;
7.    Bahwa dalam pengujian keabsahan proses penyelidikan, penyidikan dan penetapan Tersangka melalui lembaga Praperadilan, patut dilakukan karena sejak seseorang ditetapkan sebagai Tersangka maka sejak itu pula segala upaya paksa dapat dilakukan terhadap seorang Tersangka dan harta kekayaan Tersangka, dengan alasan untuk kepentingan penegakan hukum. Oleh karena penetapan Tersangka merupakan bagian akhir dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses Penyidikan sebagaimana dimaksud oleh pasal 1 angka 2 KUHAP, maka penetapan Tersangka tersebut perlu diuji kebenaran atau keabsahannya. Secara hukum lembaga yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah pengadilan melalui Praperadilan, dalam menguji keabsahan penetapan status Tersangka pada hakekatnya adalah menguji dasar-dasar dari tindakan Penyelidik, Penyidik yang akan diikuti upaya paksa. Dengan kata lain, pengujian terhadap sah dan tidak sahnya penetapan Tersangka, pada hakekatnya adalah menguji induk dari upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap seorang warga negara;
8.    Bahwa dalam KUHAP pasal 1 angka 10 menyatakan: Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam UU ini tentang:
1)    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2)    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3)    Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan;
9.    Bahwa proses hukum untuk menguji upaya paksa yang dilakukan dalam hal ini oleh         penyidik Polisi Kehutanan adalah Praperadilan sebagaimana diatur dalam pasal 77 KUHAP, yang terbatas pada memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, jelas tidak sepenuhnya dapat memberikan perlindungan yang cukup kepada seorang tersangka dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilakukan penyidik, penuntut umum bahkan hakim. Bahwa konsep praperadilan adalah hakekatnya melindungi hak asasi manusia berkenaan dengan penggunaan upaya paksa yang dilakukan oleh penegak hukum, karena melalui praperadilan itulah akan dinilai kesesuaian proses penggunaan upaya paksa tersebut dengan prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang. Bahwa hakekatnya kewenangan praperadilan adalah untuk menguji setiap upaya yang               mengurangi hak asasi seseorang;

10.    Bahwa praperadilan berwenang mengadili dan memutus permohonan sah atau tidaknya penangguhan, sah atau tidaknya pemblokiran, sah atau tidaknya penggunaan police line, karena kewenangan hakim praperadilan untuk menilai seluruh proses dari penggunaan upaya paksa untuk mengurangi hak asasi seseorang apakah telah berlansung sesuai seperti prosedur yang ditentukan oleh Undang- Undang;
11.    Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, maka pada hakekatnya hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia telah secara tegas mengatur adanya lembaga koreksi atas penetapan seseorang sebagai Tersangka. Dengan kata lain, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi     tersebut di atas, adalah merupakan hak asasi seseorang untuk menguji sah atau tidak sahnya ketika ditetapkan sebagai Tersangka. Apalagi jika terjadi kesalahan dilakukan oleh penyidik in casu TERMOHON dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka, dalam hal ini adalah PEMOHON, maka adalah merupakan hak seorang warga negara untuk melakukan koreksi  atas penetapannya sebagai Tersangka in casu PEMOHON. Kegiatan melakukan koreksi terhadap kesalahan penyidik atau penetapan Tersangka tersebut dilakukan melalui lembaga Praperadilan. Koreksi ini dilakukan untuk melindungi hak asasi seseorang (Tersangka) dari kesalahan/kesewenangan yang mungkin secara sengaja atau karena lalai dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini TERMOHON/Penyidik pada Satuan Polisi Kehutanan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau. Oleh karena itu, hakim tidak boleh menolak upaya koreksi atas kesalahan penegak hukum yang melanggar hak asasi manusia hanya dengan alasan karena tidak ada dasar hukumnya atau karena tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan secara tegas, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya;
12.    Bahwa sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, hakim telah beberapa kali melakukan penemuan hukum terkait dengan objek Praperadilan termasuk penetapan Tersangka. Sebagai contoh terkait dengan sah tidaknya penetapan Tersangka, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Putusan Praperadilan No. 38/Pid.Prap /2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 November 2012 telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain ”tidak sah menurut hukum tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka”. Bahkan yang paling baru adalah Putusan Praperadilan dalam perkara No. 04/Pid/Prap/2014/ PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015, secara tegas antara lain, “Menyatakan penetapan Tersangka atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah”; “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON” dan Putusan Praperadilan dalam perkara No. 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015, yang putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru dengan Nomor 8/Pid.Pra/2022/PN Pbr tanggal 29 Agustus 2022, secara tegas antara lain, “Menyatakan tidak sahnya penetapan seseorang menjadi Tersangka, selanjutnya PN Pekanbaru juga sudah memutus perkara Praperadilan dibidang Kehutanan yang terbaru yaitu Putusan Nomor 9/Pid.Pra/2023/PN Pbr, tanggal 18 April 2023 yang pada pokoknya memberikan putusan Menyatakan tidak sah tindakan TERMOHON yang menetapkan diri PEMOHON sebagai Tersangka berdasarkan laporan kejadian No.LK/04/Polhut-DLHK/II/2023 Serta surat Perintah Penyidikan No. Sprindik/03/PPNS-DLHK/II/2023 tanggal 28 Februari 2023 Terhadap Pemohon tanggal 02 Maret 2023 karena Premature dan seterusnya;
13.    Bahwa Mahkamah Agung juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, dimana pada pasal 2 ayat (1) berbunyi: “Obyek Praperadilan adalah:
1)    Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;
2)    Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
14.    Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, telah ditentukan adanya norma baru yang mengikat seluruh warga negara Republik Indonesia yaitu syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Tersangka, selain adanya bukti permulaan harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap calon Tersangkanya, “...harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon Tersangkanya..” (Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, hal 98);
Bahwa berdasarkan dasar-dasar yuridis tersebut di atas, maka kewenangan praperadilan lah untuk menilai Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Bahwa selanjutnya karena PENYITAAN merupakan salah satu objek Praperadilan, maka Pemohon merasa telah diperlakukan sewenang-wenang oleh TERMOHON atas penyitaan satu unit excavator Merek HITACHI model ZX 138 MF – 5G, warna Orange, Nomor rangka HCMDAGF0A00131101, milik PEMOHON, sehingga telah merugikan Pemohon yang akan PEMOHON sampaikan dalam uraian alasan Pemohon  mengajukan Praperadilan terhadap TERMOHON ini;

B.    ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
I.    Bahwa penyitaan alat berat Excavator Merek HITACHI model ZX 138 MF – 5G, warna Orange, Nomor rangka HCMDAGF0A00131101, milik PEMOHON adalah penyitaan yang dilakukan tanpa alat bukti yang cukup
1.    Bahwa pada tanggal 10 Mei 2023 tepatnya lebih kurang jam 14.30 WIB, Termohon mendatangai lokasi dimana satu (1) unit alat berat excavator Merek HITACHI model ZX 138 MF – 5G, warna Orange, Nomor rangka HCMDAGF0A00131101, milik PEMOHON sedang bekerja melakukan pembersihan lahan milik Kelompok Tani AYU MANDIRI MUARA BUNGKAL, yang berlokasi di Desa Muara Bungkal, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak, Provinsi Riau;
2.    Bahwa setelah Termohon mengehentikan kegiatan Excavator milik Pemohon sedang bekerja tersebut, lalu Termohon memerintahkan secara paksa Operator alat Excavator untuk keluar dari lokasi atau rolling ke arah jalan besar untuk tujuan bisa dinaikkan ke atas Trado atau mobil khusus pengangkut Excavator;
3.    Bahwa pada saat Termohon membawa alat berat Excavator milik Pemohon ke Kantor Termohon di Pekanbaru, tidak ada dokumen apapun yang diperlihatkan serta yang diberikan kepada Pemohon atau sekedar petunjuk kepada Pemohon selaku pemilik alat Excavator maupun kepada operator yang bertanggung jawab terhadap alat berat Excavator yang sedang bekerja dilokasi atau di atas lahan milik Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal tersebut;
4.    Bahwa Termohon merampas begitu saja Excavator milik Pemohon tanpa dasar hukum yang jelas, bahkan Pemohon awalnya tidak tahu siapa yang membawa alat Excavator tersebut dan kemana Excavator tersebut dibawa;
5.    Bahwa alat berat excavator milik Pemohon yang dikuasai oleh Termohon sejak tanggal 10 Mei 2023, adalah Tindakan sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum sama sekali, tidak jelas apa kesalahan yang dituduhkan oleh Termohon, seperti apa dan tindakkan hukum apa yang salah, sehingga Termohon harus menghentikan Excavator milik Pemohon yang sedang bekerja tersebut, menyita dan menguasai dengan tidak berdasarkan hukum dan tidak prosedural, professional dan akuntabel dalam melakukan penegakan hukum;
6.    Bahwa secara hukum harusnya Termohon menjelaskan kepada operator alat berat Excavator serta harus menunjukkan dokumen dan izin Penyitaan dari Ketua Pengadilan dalam rangka melakukan penghentian kegiatan dan penyitaaan terhadap Excavator milik Pemohon yang dibawa paksa oleh Termohon;
7.    Bahwa tindakan Termohonn yang demikian, tidak menyebutkan secara jelas kesalahan apa yang menyebabkan excavator milik Pemohon harus dihentikan sedang bekerja secara paksa, disita dan tidak pula menunjukkan izin sita atau penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan sita terhadap excavator milik Pemohon, merupakan tindakan yang melanggar hukum tidak prosedural, tidak akuntabel serta bertentangan dengan atuaran hukum yang ada, oleh karenanya harusnya dinyatakan tindakan yang cacat hukum serta tidak sah secara hukum;
8.    Bahwa pada tanggal 11 Mei 2023 Pemohon mendapat Surat Panggilan dari Termohon untuk datang ke kantor Termohon di Pekanbaru, sebagai mana Surat Panggilan yang disampaikan oleh Termohon kepada Pemohon dengan nomor 03/SP/LK.07/PPNS-DLHK/V/2023, tertanggal 11 Mei 2023 yang pada pokoknya meminta Pemohon untuk hadir menghadap kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau, yaitu kepada SULEMAN, SH, SUBRIL USNIL, SH, WILSON SIMANJUNTAK, SPt, MMA, dan ROBY CAHYADI, SH, di Kantor Polisi Kehutanan Jalan Dahlia Nomor 2 Sukajadi-Pekanbaru, pada hari kamis tanggal 11 Mei 2023, Pukul 15.30 WIB, untuk didengar keterangannya sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak Pidana Perusakan Hutan yang terjadi di dalam Kawasan Hutan Produksi pada Areal Konsesi PT. Arara Abadi, di wilayah Desa Muara Bungkal, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, sebagai mana dimaksud dalam Pasal 92 Ayat (1), Huruf b, Junto Pasal 17 Ayat (2), Huruf a, Undang – Undang RI Nomor 18 Tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, sebagai mana diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023, tentang Penetapan PERPU Nomor 2 Tahun 2022, tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1, KUHPidana;
9.    Bahwa dari panggilan tersebut pula baru diketahui oleh Pemohon adanya dasar tindakan yang dialakukan oleh Termohon karena:
-    Laporan Kejadian No. LK/07/Polhut-DLHK/V/2023, tanggal 10 Mei 2023
-    Surat Perintah Penyidikan No. Sprindik/04/PPNS-DLHK/V/2023, tanggal 11 Mei 2023
10.    Bahwa setelah dilakukan pemeriksan terhadap Pemohon, kemudian Termohon menerbitkan Surat penyitaan satu (1) unit alat berat excavator Merek HITACHI model ZX 138 MF – 5G, warna Orange, Nomor rangka HCMDAGF0A00131101, milik PEMOHON dalam bentuk SURAT TANDA PENERIMAAN tertanggal 11 Mei 2023 yang ditanda tangani oleh Pemohon dan Termohon selaku yang menerima barang;
11.    Bahwa Penyitaan adalah salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yaitu dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, Pasal 38 s/d 46 KUHAP, definisi penyitaan dijelaskan lebih jauh dalam Pasal 1 Butir 16 KUHAP. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa penyitaan adalah tindakan penyidik yang mengambil alih dan menyimpan di bawah penguasaan benda-benda yang berkaitan dengan kepentingan proses hukum di pengadilan. Pasal 38 KUHAP disebutkan bahwa tindakan penyitaan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari pengadilan. Namun, dalam keadaan yang mendesak, penyidik dapat menyita terlebih dahulu barang bukti dan hanya yang termasuk ke dalam benda bergerak. Setelahnya, penyidik wajib melaporkan kepada ketua pengadilan setempat sebagai dasar hukum penyitaan
Pasal 38 KUHAP
(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat;
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya;
12.    Bahwa Termohon dalam melakukan penyitaan alat berat excavator milik Pemohon tidak memiliki izin dari Ketua Pengadilan setempat, sehingga penyitaan yang dilakukan oleh Termohon adalah penyitaan yang tidak berdasarkan hukum serta tidak sah secara hukum, bahwa kalau alasan Termohon karena keadaan mendesak, maka Termohon tetap wajib melaporkan kepada Ketua Pengadilan setempat serta wajib mendapat persetujuan dari Pengadilan setempat atas penyitaan yang dilakukan oleh Termohon;
13.    Bahwa Termohon tidak melakukan langkah-langkah penyitaan sebagai mana ketentuan yang telah diatur oleh KUHAP, bahkan tindakan penyitaan yang dilakukan oleh Termohon adalah tindakan gegabah, tidak prosedural serta tidak mengikuti kaidah hukum sebagai mana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh karenanya penyitaan terhadap alat berat excavator milik Pemohon oleh Termohon haruslah dinyatakan penyitaan cacat hukum dan tidak sah dengan segala akibat hukumnya;
14.    Bahwa tentang pemanggilan yang dilakukan oleh Termohon kepada pemohon sebagai mana surat panggilan nomor 03/SP/LK.07/PPNS-DLHK/V/2023, tertanggal 11 Mei 2023 adalah pemanggilan yang cacat hukum dan tidak professional. Termohon tidak memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang layak dan patut dalam melakukan pemanggilan kepada setiap orang yang harus dimintai keterangan oleh penyidik, surat dilayangkan dan ditanda tangani pada tanggal 11 Mei 2023 oleh Termohon, tetapi permintaan kepada Pemohon untuk hadir menghadap kepada Termohon juga pada tanggal 11 Mei 2023 tersebut, tidak ada jeda hari sedikitpun antara surat panggilan kepada Pemohon dengan waktu Pemohon harus menghadiri panggilan tersebut, pemohon dipaksa harus hadir menghadap kepada termohon pada hari itu juga yaitu tepatnya pada tanggal 11 Mei 2023 yang mana tanggal hadir dengan tanggal dibuatnya panggilan adalah sama;
15.    Bahwa surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seseorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut sebagaimana ketentuan dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP, dan secara umum diatur dalam Pasal 227 dan Pasal 228 KUHAP;

Pasal 227 angka 1
Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir;”

Pasal 228
Jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitungkan pada hari berikutnya;
16.    Bahwa oleh karena adanya kekuatiran yang sangat mencemaskan bagi Pemohon, walaupun pemanggilan terhadap Pemohon adalah pemanggilan yang cacat hukum, dan tidak prosedur secara administrasi, namun tetap dihadiri oleh pemohon, bahkan Pemohon tetap bersedia diperiksa sebagai saksi, pada hari dan tanggal sebagai mana dalam Surat Panggilan kepada Pemohon;
17.    Bahwa walaupun demikian tetap saja pemanggilan kepada Pemohon tersebut adalah Pemangilan yang cacat prosedur serta tidak berdasarkan hukum sama sekali, maka oleh karenanya haruslah dinyatakan Pemanggilan yang tidak sah secara hukum dengan segala akibat hukumnya;
18.    Bahwa selanjutnya melihat dan membaca surat penyitaan oleh Termohon yaitu SURAT TANDA PENERIMAAN tertanggal 11 Mei 2023, yang mana disebutkan alasan penyitaan alat berat excavator Merek HITACHI model ZX 138 MF – 5G, warna Orange, Nomor rangka HCMDAGF0A00131101, milik Pemohon tersebut adalah karena barang tersebut, sebagai barang bukti dalam perkara dugaan tindak pidana dibidang Kehutanan, “Tersangka” dalam proses penyidikan yang diduga melakukan tindak pidana kehutanan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf b, junto Pasal 17 ayat (2), huruf a, Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2013, tentang pencegahan dan pemberantasan pengrusakan hutan sebagai mana diubah dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 2023 tentang penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang Junto Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana;
19.    Bahwa di dalam Surat Penyitaan  tertanggal 11 Mei 2023 tersebut, ada kata-kata “…tersangka dalam Proses Penyidikan…”, jika ditelaah lebih jauh lagi berarti sudah ada Tersangka atas tindakan Penyitaan Excavator milik Pemohon tersebut, yang diduga melakukan tindak pidana kehutanan, sebagai mana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf b, junto Pasal 17 ayat (2), huruf a, Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2013, tentang pencegahan dan pemberantasan pengrusakan hutan sebagai mana diubah dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 2023 tentang penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang Junto Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana;
20.    Bahwa faktanya sampai permohonan Praperadilan ini diajukan kehadapan Pengdilan ini, tidak ada tersangka, atau tidak ada pihak manapun yang ditetapkan sebagai tersangka, sebagai mana yang disebutkan dalam Surat Penyitaan tertanggal 11 Mei 2023 tersebut;
21.    Bahwa berdasarkan fakta-fakta dalam surat penyitaan tertanggal 11 Mei 2023 tersebut, yang mana Termohon telah menyatakan adanya “Tersangka” dalam Perkara yang menyebabkan excavator milik Pemohon menjadi disita oleh Termohon, merupakan  kepalsuan data dan informasi serta berita bohong yang dibangun oleh Termohon selaku Penyidik dalam melakukan tindakan Penyidikan sebagai mana Laporan Kejadian No LK/07/Polhut-DLHK/V/2023, tanggal 10 Mei 2023, dan Surat Perintah Penyidikan No Sprindik/04/PPNS-DLHK/V/2023, tanggal 11 Mei 2023, karena faktanya sampai saat ini tidak ada Tersangka dalam perkara a quo;
22.    Bahwa oleh karena Penyitaan Excavator milik Pemohon yang didasari oleh informasi palsu dan berita bohong, tentu tidak lah dapat dibenarkan, dan tindakan seperti ini haruslah dinyatakan cacat hukum dan tidak sah secara hukum;
23.    Bahwa oleh karena tidak ada tersangka dalam tindak pidana yang dituduhkan oleh Termohon, atas nama siapapun berarti, tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan oleh pihak mana pun, sehingga Penyitaan Excavator milik Pemohon merupakan penyitaan yang tidak berdasar dan haruslah dinyatakan cacat hukum dan tidak sah secara hukum;
24.    Bahwa selanjutnya melihat materi alasan pemanggilan kepada Pemohon, sebagai mana yang berbunyi dalam surat panggilan kepada Pemohon yaitu surat panggilan nomor 03/SP/LK.07/PPNS-DLHK/V/2023, tertanggal 11 Mei 2023, disebutkan “…dugaan tindak pidana perusakan hutan yang terjadi dalam Kawasan hutan produksi pada areal konsesi PT Arara Abadi…”;
25.    Bahwa Termohon telah menuduh alat berat Excavator milik Pemohon yang disita tersebut, telah melakukan aktifitas di dalam Hutan Produksi, pada areal konsesi milik PT. Arara Abadi, pertanyaan, jika dianggap benar lahan tempat alat excavator milik Pemohon berada atau beraktifitas di atas lahan konsesi milik pihak PT. Arara Abadi maka, secara hukum, Termohon tidak berwenang melakukan penyitaan terhadap alat berat excavator milik Pemohon, tanpa adanya keberatan dari pihak PT Arara Abadi, karena yang bertanggung jawab terhadap konsesi yang telah diperuntukkan oleh Negara kepada badan usaha tertentu, adalah badan usaha tersebut;
26.    Bahwa faktanya dilapangan, Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal selaku pemilik lahan, sudah menguasai lahan tersebut sejak lama, bahkan sudah beraktifitas disekitar lahan tersebut, sudah ada yang ditanami, tetapi tidak ada keberatan dari pihak PT. Arara Abadi kepada Kelompok Tani Ayu Madiri Muara Bungkal;
27.    Bahwa adanya dalil di dalam surat panggilannya kepada Pemohon, yang mengatakan Excavator milik Pemohon beraktifitas dalam Hutan Produksi, pada areal konsesi milik PT. Arara Abadi tidak terbukti, karena faktanya lahan tersebut sudah dikuasai oleh Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal sejak lama dan lahan tersebut bukan milik atau Konsesi PT Arara Abadi;
28.    Bahwa selain itu, pihak Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal pernah mengajukan Surat kepada Direktorat Pengukuhan dan Penataan Kawasan Hutan direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementrian Kehutanan Repoblik Indonesia sebagai mana Surat nomor 019/KTAMB/PR/II/2023, yang pada pokoknya Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal meminta dilakukan telaah dan perubahan status Kawasan hutan terhadap lahan tempat disitanya Excavator milik Pemohon beraktifitas;
29.    Bahwa kemudian Direktorat Pengukuhan dan Penataan Kawasan Hutan direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementrian Kehutanan Repoblik Indonesia membalas dan menanggapi surat dari Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal, dengan cara Direktorat Pengukuhan dan Penataan Kawasan Hutan direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku Ketua Pelaksana Pengawasan dan Pengendalian Implementasi Undang-undang Cipta Kerja, sebagai mana surat Nomor S226/KUH/PKH/PLA.2/4/2023, tanggal 14 April 2023 yang salah satu tembusannya ditujukan kepada Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal, menyampaikan telaah pada salah satu aitemnya menyebutkan bahwa, berdasarkan data base pelepasan Kawasan hutan, lahan yang dikuasai oleh Kelompok Tani Ayu Mandiri tidak tumpang tindih dengan lahan siapapun juga termasuk dengan lahan konsesi milik PT Arara Abadi, artinya tempat alat berat excavator milik Pemohon bekerja adalah di atas lahan milik Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal, lahan tersebut tidak tumpang tindih dengan lahan konsesi milik PT. Arara Abadi;
30.    Bahwa karena lahan tempat aktifitas excavator milik Pemohon tidak berada dalam konsesi lahan milik PT Arara Abadi, maka penyitaan excavator milik Pemohon oleh termohon yang didasari dalam perkara dugaan tindak Pidana Perusakan Hutan yang terjadi di dalam Kawasan Hutan Produksi pada Areal Konsesi PT. Arara Abadi, di wilayah Desa Muara Bungkal, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, sebagai mana dimaksud dalam Pasal 92 Ayat (1), Huruf b, Junto Pasal 17 Ayat (2), Huruf a, Undang – Undang RI Nomor 18 Tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, sebagai mana diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023, tentang Penetapan PERPU Nomor 2 Tahun 2022, tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1, KUHPidana tidak terbukti dan unsur-unsur pasal yang dituduhkan juga tidak terpenuhi, oleh karenya penyitaan excavator  milik Pemohon haruslah dinyatakan tidak sah secara hukum;
31.    Bahwa kemudian tentang posisi alat berat excavator milik Pemohon yang sedang bekerja di atas lahan milik Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal sesungguhnya fakta dilapangan berstatus lahan APL atau areal peruntukan lain,  artinya lahan tersebut bukan Kawasan hutan, hal ini sejalan dengan telaahan sebagai mana yang disampaikan dalam Surat Direktorat Pengukuhan dan Penataan Kawasan Hutan direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementrian Kehutanan Repoblik Indonesia nomor S.226/KUH/PKH/PLA.2/4/2023, tanggal 14 April 2023 di atas, yang pada pokonya menjelaskan dalam telaahnya, berdasarkan SK Menhut 878 tahun 2014, SK Menlhk nomor 314 tahun 2016, SK Menlhk Nomor 393 tahun 2016, tanggal 23 Mei 2016, dan Perubahannya SK Menlhk 314 tahun 2016 tanggal 30 April 2016, serta SK Menlhk Nomor 903 tahun 2016 dan SK Nomor 6612 Tahun 2021 menjelaskan sebahagian lahan yang dikuasai oleh Kelompok Tani Ayu Mandiri adalah berstatus Areal Peruntukan Lain (APL) atau bukan Kawasan hutan;
32.    Bahwa oleh karena excavator milik Pemohon Ketika sedang dihentikan kegiatannya sedang berada pada areal APL maka Termohon tidak berwenang melakukan penyitaan terhadap excavator milik Pemohon tersebut, oleh karenanya penyitaan yang dilakukan oleh Termohon adalah penyitaan yang tidak berdasarkan hukum bahkan melawan hukum dan haruslah dinyatakan penyitaan excavator milik Pemohon tersebut tidak sah secara hukum;
II.    Lahan Tempat Alat Berat Excavator Milik Pemohon Bekerja Belum Dikukuhkan Sebagai Kawasan Hutan
33.    Bahwa penyitaan excavator milik PEMOHON  oleh Termohon dengan tuduhan telah membawa alat berat dan/atau alat lainnya yang lazim atau patut di duga akan di gunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) Huruf b Junto Pasal 17 Ayat (2) huruf a Undang Undang RI No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan sebagaimana di ubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Peraturan Pemerintah Penganti undang undang No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Junto Pasal 55 ayat (1) Ke 1 KUH Pidana, yang terjadi di wilayah Desa Muara Bungkal Kecamatan Sei Mandau Kabupaten Siak adalah penyitaan yang tidak tepat karena tempat excavator bekerja belum pernah dikukuhkan sebagai Kawasan hutan;
34.    Bahwa lahan tempat excavator PEMOHON beraktifitas berada di lahan yang terletak di Desa Muara Bungkal, Kecamatan Sungai Mandau seluas lebih kurang 10 (sepuluh) Hektar, bukan merupakan kawasan hutan, untuk kepastian hukum sebagai kawasan hutan, maka harus dibuktikan dengan penetapan Menteri, dalam  hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, penyitaan alat berat excavator milik Pemohon oleh Termohon tidak mempunyai alat bukti administrasi kehutanan yang berupa Surat Penetapan Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri, maka Penyitaan alat berat excavator PEMOHON tidak didasarkan pada bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup untuk memenuhi unsur delik di bidang kehutanan;
35.    Bahwa penetapan   kawasan   hutan   merupakan   hal   penting   untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan. Oleh karena itu, untuk memenuhi salah satu unsur tindak pidana bidang kehutanan sebagaimana yang disangkakan oleh TERMOHON sehingga menyebabkan disitanya alat berat excavator milik Pemohon, maka lokasi lahan tempat dimana Excavator PEMOHON melakukan aktifitas harus merupakan kawasan hutan yang telah dikukuhkan berdasarkan penetapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI;
36.    Bahwa kawasan hutan harus dikukuhkan dengan penetapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan R.I., ditentukan berdasarkan:
b.    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012;
c.    Pasal 14 dan Pasal 15 ayat (1) Undang Nomor: 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor
19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
d.    Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan;
e.    Pasal 1 angka 18 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
R.I. Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan;
29.    Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012 amarnya memutuskan, bahwa frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi R.I., frasa “ditunjuk dan atau” tidak sinkron dengan Pasal 15 Undang-Undang a quo. Dengan demikian ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jadi, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi a quo, pengukuhan kawasan hutan harus mengikuti ketentuan Pasal 15 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
30.    Bahwa kegiatan pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan dan pengukuhan kawasan hutan harus dengan penetapan kawasan hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 dan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai berikut:
Pasal 14
(1)    Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.
(2)    Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.
Pasal 15
(1)    Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:
a.    penunjukan kawasan hutan;
b.    penataan batas kawasan hutan;
c.    pemetaan kawasan hutan; dan
d.    penetapan kawasan hutan
31.    Bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dimana Pasal 1 angka 2 menentukan:
“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Dengan demikian, suatu kawasan hutan harus dibuktikan dengan penetapan pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan (vide Pasal 1 angka 15 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan);
32.    Bahwa selanjutnya Pasal 1 angka 18 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan R.I. Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan menentukan:
“Pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan.” Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan. Oleh karenanya, pengukuhan kawasan hutan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan, dengan melakukan langkah-langkah yang berupa rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan;
33.    Bahwa dengan demikian, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012, Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor: 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Pasal 1 angka 18 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan R.I. Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan, kawasan hutan adalah areal yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan, bukan areal yang ditunjuk saja, tetapi harus melalui mekanisme pengukuhan kawasan hutan dengan tahapan, penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan. Jadi, pengukuhan kawasan hutan harus dengan penetapan Menteri, dalam hal ini adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
34.    Bahwa Pekerjaan Pembersihan lahan atau Steking lahan milik Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal dengan luas direncanakan lebih kurang 10 Hektar yang terletak di Desa Muara Bungkal, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, tidak merupakan kawasan hutan berdasarkan penetapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Oleh karena itu, perbuatan TERMOHON yang melakukan sita terhadap alat berat excavator milik Pemohon, adalah tidak sah, karena tidak memenuhi bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup, sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP;
35.    Bahwa tindakan TERMOHON yang secara prematur dan sewenang-wenang menyita alat berat excavator dalam perkara diduga melakukan tindak pidana Pasal 92 ayat (1) Huruf b Junto Pasal 17 Ayat (2) huruf a Undang Undang RI No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan sebagaimana di ubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Peraturan Pemerintah Penganti undang undang No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Junto Pasal 55 ayat (1) Ke 1 KUH Pidana sebagai mana tersebut dalam surat panggilan nomor 03/SP/LK.07/PPNS-DLHK/V/2023 tertanggal 11 Mei 2023 dan SURAT TANDA PENERIMAAN tertanggal 11 Mei 2023 adalah merupakan tindakan yang tidak prosedural, profesional, proporsional dan akuntabel karena tidak didasari dengan bukti permulaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP;
36.    Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 pada diktum 1.2. yang berbunyi “Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”;
37.    Bahwa oleh karena TERMOHON dalam menyita alat berat excavator dalam perkara diduga melakukan tindak pidana pasal 92 ayat (1) Huruf b Junto Pasal 17 Ayat (2) huruf a Undang Undang RI No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti undang undang No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Junto Pasal 55 ayat (1) Ke 1 KUH Pidana tersebut tanpa didasari oleh dua alat bukti sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP, maka dengan demikian Penyitaan alat berat excavator  milik PEMOHON yang didasarkan pada Laporan Kejadian No LK/07/Polhut-DLHK/V/2023, tanggal 10 Mei 2023, dan Surat Perintah Penyidikan No Sprindik/04/PPNS-DLHK/V/2023, tanggal 11 Mei 2023 tersebut tidak sah, oleh karenanya patut dan beralasan hukum apabila tindakan penyidikan yang dilakukan TERMOHON terkait penyitaan alat berat excavator milik PEMOHON berikut segala tindak lanjut dari hasil             penyidikan tersebut beralasan hukum dinyatakan tidak sah;
III.    Pemohon Pengambil Jasa Sewa – Menyewa Alat Berat Excavator, Tidak Ada Hubungan Dengan Tindak Pidana Kehutanan  
38.    Bahwa sebagaimana alat berat Excavator milik Pemohon telah di sita berdasarkan SURAT TANDA PENERIMAAN”, tertanggal 11 Mei 2023 oleh Termohon karena di duga akan melakukan tindak pidana kehutanan sebagai mana diatur  dalam Pasal 92 ayat (1) Huruf b Junto Pasal 17 Ayat (2) huruf a Undang Undang RI No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan sebagaimana di ubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti undang undang No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Junto Pasal 55 ayat (1) Ke 1 KUH Pidana;
39.    Bahwa Pemohon memiliki Surat Perjanjian Kerja dengan Kelompok Tani Ayu Mandiri selaku pihak yang menyewa alat berat excavator milik Pemohon, sebagai mana Surat Perjanjian Kerja Nomor 002/KTAYB-3/SPK/IV/2023 tanggal 10 April 2023;
40.    Bahwa di dalam Perjanjian kerja tersebut telah di atur dan disebutkan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak, sampai pada teknis pembayaran pekerjaan;
41.    Bahwa tentu akibat penyitaan alat berat excavator milik Pemohon oleh Termohon sangat merugikan Pemohon, sementara pemilik lahan selaku pihak penyewa alat berat seolah-olah tidak dapat bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut;
42.    Bahwa ada hubungan keperdataan antara Pemohon dengan penyewa alat berat excavator milik Pemohon, yang mana tentu atas kerugian yang telah dialami oleh Pemohon akan dilakukan tidakan hukum lain oleh Pemohon terhadap pengurus kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal selaku pihak yang menyewa excavator milik Pemohon tersebut;
43.    Bahwa untuk hubungan hukum secara perdata tersebut dengan iktikat baik  Pemohon telah menjelaskan secara rinci kepada Petugas Polisi Kehutanan yang dengan memberikan keterangan serta menunjukan surat Perjanjian sewa antara kedua belah Pihak, namun Termohon tetap melakukan penyitaan terhadap alat berat milik Pemohon;
44.    Bahwa secara hukum Pemohon tidak dapat dilibatkan dan tidak pula harus menanggung kerugian akibat Penyitaan yang tidak sah oleh Termohon, karena ada perjanjian yang mengikat antara Pemohon dengan Pihak Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal, sehingga penyitaan yang dipaksakan oleh Termohon terhadap satu unit alat berat excavator milik Pemohon merupakan tindakan hukum keperdataan biasa yang harus diselesaikan oleh Pemohon dengan Pengurus Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal;
45.    Bahwa hubungan antara Pemohon dengan Pengurus Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal selaku penyewa alat berat excavator adalah tindakan hukum Perdata biasa yang secara hukum tidak dapat dilibatkan dalam permasalahn Pidana yang diduga dilakukan oleh pihak lain, namun tetap dipaksakan penyitaan oleh Termohon maka Penyitaan alat berat excavator milik Pemohon tersebut merupakan penyitaan yang eror in objecto maka haruslah dinyatakan tidak sah dan haruslah dibatalkan oleh Yang Mulia yang memeriksa perkara ini;

C.    PERMOHONAN
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon Praperadilan memohon kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru berkenan memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini sebagai berikut:

PRIMAIR :
1.    Menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan PEMOHON untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan tidak sah tindakan TERMOHON melakukan penyidikan berdasarkan Laporan Kejadian No LK/07/Polhut-DLHK/V/2023, tanggal 10 Mei 2023, dan Surat Perintah Penyidikan No Sprindik/04/PPNS-DLHK/V/2023, tanggal 11 Mei 2023, dalam perkara dugaan tindak Pidana Perusakan Hutan yang terjadi di dalam Kawasan Hutan Produksi pada Areal Konsesi PT. Arara Abadi, di wilayah Desa Muara Bungkal, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, sebagai mana dimaksud dalam Pasal 92 Ayat (1), Huruf b, Junto Pasal 17 Ayat (2), Huruf a, Undang Undang RI Nomor 18 Tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, sebagai mana diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023, tentang Penetapan PERPU Nomor 2 Tahun 2022, tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1, KUHPidana;
3.    Menyatakan tidak sah tindakan penyitaan yang dilakukan oleh TERMOHON terhadap satu (1) unit alat berat excavator Merek HITACHI model ZX 138 MF-5G, warna Orange, Nomor rangka HCMDAGF0A00131101, milik PEMOHON. Berdasarkan SURAT TANDA PENERIMAAN tertanggal 11 Mei 2023 sebagai surat penyitaan oleh Termohon;
4.    Memerintahkan TERMOHON untuk mengembalikan kepada Pemohon satu (1) unit alat berat excavator Merek HITACHI model ZX 138 MF – 5G, warna Orange, Nomor rangka HCMDAGF0A00131101, milik PEMOHON segera setelah permohonan Praperadilan ini dikabulkan dengan tanpa syarat apapun;
5.    Memerintahkan TERMOHON untuk menghentikan penyidikan perkara berdasarkan Laporan Kejadian No LK/07/Polhut-DLHK/V/2023, tanggal 10 Mei 2023, dan Surat Perintah Penyidikan No Sprindik/04/PPNS-DLHK/V/2023, tanggal 11 Mei 2023 dugaan tindak Pidana Perusakan Hutan yang terjadi di dalam Kawasan Hutan Produksi pada Areal Konsesi PT. Arara Abadi, di wilayah Desa Muara Bungkal, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, sebagai mana dimaksud dalam Pasal 92 Ayat (1), Huruf b, Junto Pasal 17 Ayat (2), Huruf a, Undang – Undang RI Nomor 18 Tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, sebagai mana diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023, tentang Penetapan PERPU Nomor 2 Tahun 2022, tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1, KUHPidana;
6.    Memulihkan hak PEMOHON dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
7.    Menghukum TERMOHON untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini;
SUBSIDAIR
Apabila Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru c.q. Yang Mulia Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, PEMOHON mohon untuk dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Pihak Dipublikasikan Ya